MITA - Nyatakan keprihatinannya setelah mengamati dunia pendidikan di Gayo, khususnya Kabupaten Aceh Tengah.
Ungkapan yang dalam bahasa Melayu Malaysia “kalau melentur buluh mesti dari rebungnya” ini menurut Makmor sangat tepat diterap di Gayo sebagai konsep pendidikan.
Di Gayo, saat anak-anak semuanya serba dibolehkan, tidak ada larangan keras atau tegas dalam beberapa perkara yang salah atau kurang tepat. “Tengah kucak Amuhen, lebih mien urum anan awan ne,” kata Makmor dalam wawancara eksklusif dengan LintasGayo.co Senin 11 Mei 2015.
Menurutnya ini salah besar, kebiasaan Urang Gayo yang seperti ini sudah harus ditinggalkan. “Sistem pendidikan di Gayo perlu dibenahi, dikaji kembali. Di Denmark seorang anak hingga berusia 16 tahun tidak ada toleransi jika salah, setelah itu baru diberi kelonggaran memilih. Di bawah usia itu seorang anak belum tau yang mana boleh dan mana tidak boleh,” ujar putra tokoh masyarakat Gayo di Kenawat Lut, Alm.Tgk. Abdul Gani ini.
Dulu pendidikan di Gayo keras, di sekolah anak-anak yang dinilai bersalah mesti mendapat hukuman, bahkan hukuman badan sekalipun. Hebatnya, orang tua tidak ada yang komplin, ini karena ada kepercayaan kepada guru, kenapa sekarang bergeser.
“Saya mendukung tidak dibenarkannya kekerasan dalam pendidikan, cuma untuk keberhasilan pendidikan saya kira bagaimana caranya guru dan murid saling kenal layaknya berteman,” kata Makmor.
Dia tidak menyalahkan guru, karena seseorang menjadi guru tentu karena berpendidikan tinggi. “Cuma saja, coba dievaluasi apakah yang bersangkutan bisa menjadi guru yang sebenarnya?,” kata dia bernada tanya.
Guru mesti belajar menjadi guru. “Saya amati disini guru menerangkan, murid menulis dan diharuskan menghapal pelajaran, jika di Denmark siswa tidak ada menghapal, misalnya soal sejarah, guru menanyakan kepada siswa apa yang diketahui tentang sesuatu topik sejarah. Guru yang mendengar paparan siswa, guru akan menambahkan jika ada yang kurang.Disini terbalik, justru murid mendengarkan penjelasan guru,” ujarnya membandingkan dengan pengecualian pelajaran ilmu pasti.
Putra kelahiran Kenawat Lut ini mengaku bingung, kenapa di Gayo siswa umumnya alergi dengan matematika. Di luar negeri seperti Denmark, justru matematika yang paling disukai siswa.
Terkait sarana prasarana belajar juga tak luput dari amatan Makmor. Beberapa hari di Takengon dia menyempatkan diri berkunjung ke sekolah-sekolah terutama yang rusak karena Gempa Gayo, 2 Juli 2013 silam.
“Beberapa hari saya disini mencoba berkunjung ke sekolah-sekolah, kita ketinggalan sangat jauh dengan dunia luar, bagaimana Gayo nanti, sarananya saja masih seperti itu, menyedihkan, terlebih setelah gempa yang sudah berlalu hampir dua tahun,” kata Makmor, warga Denmark ini miris.
Bagaimana siswa belajar, bagaimana guru mengajar, suasananya betul-betul tidak nyaman, tidak relevan lagi dengan dunia modern saat ini. Kata sosok yang belum terpikir untuk kembali sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) ini.
“Mohonlah, pikirkan generasi Gayo mendatang, ayo diformat lagi sistem pendidikan kita di Gayo ini,” tandas Johan Makmor Habib.
Komentar